Selamat Datang di Lentera Study

Sekilas info yang mungkin bisa memberikan apa yang kamu inginkan lebih dari apa yang kamu butuhkan

Senin, 26 Desember 2011

KONSEP DASAR SEHAT dan SAKIT


Pengertian mengenai kesehatan umumnya dimengerti sebagai hal yang bersifat fisik dan kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat mental. Hal ini dapat dipahami karena hal-hal fisik lebih mudah diamati, sehingga lebih mudah disadari oleh individu, dibandingkan hal yang bersifat psikis.  Namun, apakah kita betul-betul dapat dikatakan sehat hanya karena tidak memiliki penyakit yang bersifat fisik ?  Dan apakah budaya turut mempengaruhi pengertian tentang sehat dan juga tentang sakit ?

DEFINISI SEHAT

WHO mendefinisikan kesehatan sebagai …..keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan…(Smet, 1994 dalam Siswanto, 2007).

Perhatian mengenai kesehatan dalam kaitannya dengan keanekaragaman budaya juga menjadi salah satu bidang kajian yang diminati oleh Psikologi Lintas Budaya (Berry, 1999 dalam Siswanto, 2007).

Schultz (1993) dalam Siswanto (2007) mengatakan bahwa pandangan baru dalam memahami kepribadian yang sehat bukan hanya dari segi apakah pribadi tersebut berfungsi secara normal seperti pada umumnya, tetapi lebih menekankan pada apakah potensi-potensi yang dimiliki bisa dikembangkan secara optimal atau tidak. Oleh karena itu, untuk membedakan pengertian sehat yang dipakai oleh umum dengan sehat yang betul-betul sehat diperkenalkan istilah adisehat atau adinormal untuk mengelompokkan orang-orang yang berbeda dari masyarakat pada umumnya tetapi betul-betul mampu mengaktualkan segenap potensi yang dimilikinya.

PERILAKU KESEHATAN

Gochman (1988) dalam Lukluk dan Bandiyah (2008) mendefinisikan perilaku kesehatan sebagai those attributes such as beliefs, expectations, motives, values, perceptions, and other cognitive elements, personality characteristics, including affective and emotional states and traits; and overt behavioral patterns, actions dan habits thatrelate to health maintenance, to health restorations and to health improvement.

Dengan demikian, perilaku kesehatan tidak hanya meliputi tindakan yang dapat secara langsung diamati tetapi juga kejadian mental dan keadaan perasaan yang diteliti dan diukur secara tidak langsung.

STATUS KESEHATAN

Status kesehatan adalah keadaan kesehatan pada waktu tertentu. Karena itu, status kesehatan tidak sama dengan perilaku kesehatan. (Lukluk dan Bandiyah, 2008). Namun Cochman (1988) dalam Lukluk dan Bandiyah (2008) mengatakan bahwa persepsi seseorang terhadap status atau persepsi peningkatan, kesembuhan, atau perubahan lain pada status kesehatan adalah perilaku kesehatan.

KESEHATAN MODEL BARAT DAN TIMUR

Yang dimaksud dengan model adalah cara merekonstruksi realita, memberikan makna kepada fenomena-fenomena alam yang pada dasarnya bersifat chaos (Eisenberg dalam Helman, 1990 dalam Siswanto, 2007).

Pada bidang kesehatan terdapat dua model utama, yaitu Model Barat dan Model Timur. Model Barat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu model Biomedis atau sering disebut model Medis, model Psikiatris, dan model Psikosomatis. Model Timur bersifat holistik. (Siswanto, 2007).

MODEL BIOMEDIS (BARAT)

Model Biomedis berakar jauh pada pengobatan tradisional Yunani. Perkembangan ilmu biologi yang pesat dengan ditemukannya virus dan bakteri sebagai sumber penyakit menyebabkan model Biomedis berkembang sangat pesat. Dalam model Biomedis penyakit dan kesehatan semata-mata dihubungkan dengan tubuh saja (Siswanto, 2007).

MODEL PSIKIATRIS (BARAT)

Model Psikiatris sebenarnya masih berkaitan dengan model Biomedis. Model ini masih mendasarkan diri pada pencarian bukti-bukti fisik dari suatu penyakit dan penggunaan treatment secara fisik, seperti obat-obatan dan pembedahan untuk mengoreksi abnormalitas. Namun model ini menunjukkan dengan jelas adanya pertentangan-pertentangan di antara para psikiater yang berbeda dalam menjelaskan gangguan psikosis. Model-model itu meliputi model organik yang menekankan pada perubahan fisik dan biokimia di otak, model psikodinamik yang berkonsentrasi pada faktor perkembangan dan pengalaman, model behavioral yang mengatakan bahwa psikosis terjadi karena kemungkinan-kemungkinan lingkungan, dan model sosial yang menekankan gangguan dalam kerangka performansinya (Helman, 1990 dalam Siswanto, 2007).

MODEL PSIKOSOMATIS (BARAT)

Model Psikosomatis merupakan model yang muncul kemudian karena adanya ketidakpuasan terhadap model Biomedis. Model ini muncul setelah jurang antara aspek biologis dan psikologis terjembatani lewat karya Sigmund Freud tentang ketidaksadaran, Ivan Pavlov tentang respon terkondisi, dan W.B. Cannon tentang reaksi serang-kabur.

Model Psikosomatis menyatakan bahwa tidak ada penyakit somatik tanpa disebabkan oleh antesenden emosional dan atau sosial. Sebaliknya, tidak ada penyakit psikis yang tidak disertai oleh simtom-simtom somatik (Tamm, 1993 dalam Siswanto, 2007).

Menurut model Psikosomatik, penyakit berkembang melalui saling keterkaitan yang berkesinambungan antara faktor fisik dengan faktor mental, yang saling memperkuat satu sama lain melalui jaringan yang kompleks. Penyembuhan penyakit diasumsikan terjadi melalui cara yang sama.

MODEL HOLISTIK (TIMUR)

Siswanto (2007) mengatakan bahwa dalam dunia kedokteran, Holisme dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.

Dalam arti sempit, Holisme melihat organisme manusia sebagai suatu sistem kehidupan yang semua komponennya saling terkait dan saling tergantung.

Dalam arti luas, Holisme melihat sistem Holisme dalam arti sempit itu merupakan suatu bagian integral dari sistem-sistem yang lebih luas, di mana organisme individual berinteraksi terus-menerus dengan lingkungan fisik dan sosialnya, yaitu terpengaruh oleh lingkungan tetapi juga mempengaruhi dan mengubah lingkungannya.
DEFINISI SAKIT

Secara ilmiah, terdapat perbedaan antara illness (sakit) dan disease (penyakit). Sakit adalah penilaian individu terhadap pengalaman rasa menderita karena adanya suatu penyakit, sedangkan penyakit menunjukkan adanya gangguan fungsi fisiologis. Dengan demikian sakit bersifat subjektif, sedangkan penyakit bersifat objektif (Susanto, 2000).

Cassell dalam Helman (1990) dalam Siswanto (2007) mengatakan bahwa illness menyatakan apa yang dirasakan oleh pasien ketika dia datang ke dokter, sedangkan disease menyatakan apa yang dibawa si pasien ke rumah setelah dari ruang dokter. Dengan demikian, disease adalah sesuatu yang diidap oleh organ tubuh, sedangkan illness adalah respon subjektif pasien.

Kleinman’s dalam Freund (1991) dalam Siswanto (2007) mengatakan bahwa disease mengacu pada kondisi biofisik, sedangkan illness mengacu pada bagaimana orang yang sakit dan anggota keluarganya atau jaringan sosialnya yang lebih luas merasakan atau hidup dengan serta bereaksi terhadap simtom-simtom dan ketidakmampuannya.

Kesulitan muncul karena dokter yang dididik dengan sistem pengobatan Barat terlatih pada konsep penyakit dalam pengertian disease, sehingga mereka kurang mampu menangani penyakit dalam pengertian illness (Siswanto, 2007). Disease yang sama mungkin diartikan sangat berbeda pada dua orang pasien dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga mendapatkan treatment yang berbeda pula. Gejala flu di Barat mendapatkan perhatian yang serius, sedangkan di Indonesia flu dianggap merupakan penyakit yang wajar.


KAITAN DISEASE DENGAN ILLNESS

Bisa saja disease terjadi tanpa adanya illness. Teknologi kedokteran yang maju dapat mendeteksi adanya penyakit sebelum orang yang bersangkutan menyadari penyakitnya. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku orang tersebut, misalnya dalam hal kepatuhan. Bagaimana mungkin orang tersebut bisa patuh melakukan nasehat dokter bila dia masih belum merasa ada yang aneh dalam dirinya ?

Sebaliknya, bisa saja illness terjadi tanpa adanya disease. Pasien bisa saja merasa ada sesuatu yang salah dalam hal fisiknya, tetapi setelah diperiksa ternyata tidak ada yang salah dalam hal fisiknya. Meskipun demikian, bisa saja dia tetap merasa sakit. Biasanya penyakit seperti ini disebabkan oleh stress kehidupan dan dikategorikan sebagai penyakit psikosomatis (Siswanto, 2007).

IMPLIKASI PERBEDAAN KONSEP KESEHATAN & PENYAKIT TERHADAP PERILAKU PENYEMBUHAN

Penyembuh atau orang yang berperan mengobati pasien pada sistem pengobatan Barat dibedakan antara Dokter dan Psikolog. Dokter bertugas mengobati penyakit fisik, sedangkan Psikolog bertugas mengobati penyakit psikis (Joesoef, 1990 dalam Siswanto, 2007). Bahkan karena pengaruh pandangan dualisme tubuh dan jiwa ini, para Dokter hampir tidak bersinggungan sama sekali dengan Psikolog dan mereka bekerja pada bidang yang sama sekali berbeda. Hal ini berbeda dengan sistem pengobatan Timur di mana penyembuh biasanya adalah tokoh setempat seperti Pendeta atau Dukun atau Imam. Peranan penyembuh di sini bukan hanya dari segi fisik saja, tetapi lebih menyeluruh meliputi mental, moral, dan spiritual.

Dalam perkembangannya, saat ini mulai terjadi pertemuan antara penyembuhan dengan model Barat dengan model Timur. Secara praktis, hal ini ditandai dengan antara lain dengan adanya Dokter (penyembuh model Barat) yang mempelajari dan mempraktekkan penyembuhan model Timur sebagai komplemen pengobatan model Barat yang digunakannya. Misalnya, Dokter yang menggunakan radiesthesi medik untuk mempertajam diagnosis dan pemilihan jenis terapi maupun dosis obat sesuai kebutuhan dan kondisi pasien saat diperiksa. Dokter F.A. Boediarto, Sp KJ mengatakan bahwa seni ini tidak bertentangan dengan Ilmu Kedokteran, karena pada hakekatnya definisi Ilmu Kedokteran sendiri adalah ilmu dan seni (science and art) mengobati penderita (Jehani, 2008).

Dengan mulai bertemunya penyembuhan model Barat dan Timur ini, diharapkan pemeliharaan kesehatan dan penyembuhan akan dapat dilakukan secara lebih utuh dan menyeluruh dari segala aspeknya tanpa timbul adanya saling pertentangan, karena satu sama lain bersifat saling melengkapi (bersifat komplemen).

Oleh : Constantinus J Joseph
Jl.Anjasmoro V/24 Semarang

Rabu, 21 Desember 2011

Terapi Kesulitan Bergaul


PELATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL
UNTUK TERAPI KESULITAN BERGAUL


1. PENGANTAR

Secara garis besar, kemampuan seseorang dalam berhubungan sosial dapat dikelompokkan menjadi :
  1. Individu yang terampil / pandai bergaul
  2. Individu yang kesulitan bergaul

Individu yang terampil / pandai bergaul mempunyai ciri-iri :
  1. Dapat mengatasi berbagai persoalan dalam pergaulan
  2. Mudah membina hubungan dengan teman baru
  3. Mudah berkomunikasi secara efektif dengan orang lain
  4. Mudah terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan
  5. Dapat mengakhiri pembicaraan tanpa mengecewakan / menyakiti orang lain
  6. Mampu mengemukakan pendapat dalam pertemuan formal
  7. Mampu memberi penghargaan dan dukungan terhadap pendapat orang lain
  8. Mampu mengemukakan kritik tanpa menyakiti orang lain

Individu yang sulit bergaul mempunyai ciri-ciri :
  1. Kesulitan untuk memulai bicara, terutama dengan orang yang belum dikenal
  2. Merasa canggung
  3. Tidak dapat terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan


Tingkat kesulitan bergaul sangat bervariasi, yaitu :
  1. Mulai dari kesulitan bergaul situasional, di mana penderita mengalami kesulitan untuk bergaul di situasi-situasi tertentu saja
  2. Sampai ke tingkat kesulitan bergaul yang disebabkan oleh gangguan mental kronik

Karena itu, teknik yang digunakan dalam membantu penderita kesulitan bergaul juga berbeda-beda, dan salah satu teknik yang semakin populer digunakan adalah Pelatihan Ketrampilan Sosial.

Pelatihan Ketrampilan Sosial merupakan salah satu Teknik Modifikasi Perilaku, dan dapat digunakan sebagai teknik tunggal maupun sebagai teknik pelengkap bersama dengan teknik psikoterapi lainnya.

Ketrampilan Sosial berasal dari kata terampil dan sosial.
  1. Kata terampil digunakan karena di dalam teknik ini terkandung proses belajar dari tidak terampil menjadi terampil.
  2. Kata sosial digunakan karena di teknik ini bertujuan untuk mengajarkan suatu kemampuan berinteraksi dengan orang lain.

Dengan demikian, tujuan dari Pelatihan Ketrampilan Sosial adalah mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam hubungan formal maupun informal.








2. PRINSIP-PRINSIP DALAM PELATIHAN

  1. Kata pelatihan digunakan dalam teknik ini, karena teknik ini mengajarkan suatu perilaku baru yang bersifat praktis, yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Dalam pelatihan ini juga terdapat prinsip-prinsip belajar, tetapi yang dipelajari adalah pengetahuan praktis dan dalam waktu yang relatif singkat.
  3. Prinsip belajar yang digunakan adalah prinsip belajar orang dewasa (andragogi), yaitu :
    1. Individu dianggap sebagai orang yang sudah tahu atau memiliki ketrampilan, tapi dalam porsi yang masih kurang.
    2. Orang dewasa berbeda dengan anak-anak, karena orang dewasa menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan pengalaman. Karena itu, orang dewasa ingin terlibat dalam proses belajar.
    3. Keterlibatan yang aktif dapat menjadi modal terjadinya transfer belajar yang optimal, bukan hanya sebagai penerima informasi yang pasif.
    4. Tanggung jawab atas proses belajar sepenuhnya berada di tangan peserta, bukan pada pelatih.
  4. Yang menjadi sasaran adalah aspek intelektual (kognitif), emosi (afektif), dan psikomotor.
    1. Perubahan dalam ketiga aspek ini didapat dengan melibatkan peserta dalam pelatihan dengan bermain peran yang harus dilakukan setelah melihat demonstrasi (modelling) tentang beberapa ketrampilan.
    2. Demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan yang realistis / relevan dengan peserta.


  1. Proses belajar adalah suatu pengalaman yang dimulai dari peserta pelatihan dan berlangsung dalam diri peserta. Karena itu peserta tidak diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, ketrampilan, perilaku yang baru dengan menggali sumber daya di dalam dirinya.


3. PELATIHAN KETRAMPILAN PSIKOLOGIS

  1. Pelatihan Ketrampilan Sosial adalah salah satu bentuk Pelatihan Ketrampilan Psikologis.
  2. Pelatihan Ketrampilan Psikologis diciptakan sebagai alternatif bagi konselor untuk masyarakat golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Di Amerika Serikat, psikoterapi sering gagal atau kurang berhasil apabila diterapkan pada klien dari masyarakat golongan ini.
  3. Data menunjukkan bahwa keberhasilan psikoterapi sangat ditentukan oleh ciri-ciri klien yang tergolong YAVIS, yaitu :
    1. Young
    2. Attractive
    3. Verbal (memiliki ketrampilan verbal)
    4. Intelligent (memiliki kemampuan intektual yang memadai)
    5. Successful
  4. Untuk klien yang bukan YAVIS, biasanya psikoterapi kurang disarankan. Untuk klien non-YAVIS, disusun teknik Prosedur Belajar Terstruktur yang memuat berbagai pelatihan-pelatihan ketrampilan psikologis. Goldstein mengemukakan berbagai Pelatihan Ketrampilan Psikologis, yaitu :
    1. Pelatihan pemecahan masalah yang kreatif
    2. Pelatihan asertifitas
    3. Pelatihan wawancara pekerjaan
    4. Pelatihan ketrampilan sosial

  1. Pelatihan Ketrampilan Psikologis dilaksanakan dengan 4 tahap, yaitu :
    1. Modelling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik, detil, dan sering.
    2. Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk memerankan suatu interaksi sosial.
    3. Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik. Umpan balik harus diberikan segera setelah role playing, agar mereka tahu seberapa baik telah menjalankan langkah-langkah pelatihan ini.
    4. Transfer traiing, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari.

4. PELATIHAN KETRAMPILAN SOSIAL UNTUK
    TERAPI KESULITAN BERGAUL

Ketrampilan sosial yang sering dikeluhkan individu antara lain tidak mampu melakukan komunikasi dengan baik. Karena itu, Michelson mengemukakan bahwa Pelatihan Ketrampilan Sosial dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial individu.

Ketrampilan sosial  meliputi beberapa hal, yaitu :
  1. Memberikan pujian
  2. Mengeluh karena tidak setuju
  3. Menolak permintaan orang lain
  4. Tukar pengalaman
  5. Menuntut hak pribadi
  6. Memberi saran kepada orang lain
  7. Pemecahan konflik atau masalah
  8. Berhubungan atau bekerja sama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin
  9. Berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya
Dalam Pelatihan Ketrampilan Sosial, individu dilihat sebagai dalam masa belajar dan bukan sebagai klien yang membutuhkan terapi; seseorang yang keurangan dan memiliki kemampuan yang lemah padahal kemampuan ini dibutuhkan untuk dapat hidup secara efektif dan memuaskan.

Beberapa teknik yang digunakan dalam Pelatihan Ketrampilan Sosial adalah :
  1. Modelling, yang dilakukan dengan cara memperlihatkan contoh tentang ketrampilan berperilaku yang spesifik. Ketrampilan yang diajarkan dapat berupa ketrampilan tunggal maupun ketrampilan kombinasi.
    1. Ketrampilan tunggal hanya memuat satu jenis ketrampilan dasar, misalnya memulai pembicaraan, melakukan pembicaraan, mengkahiri pembicaraan.
    2. Ketrampilan kombinasi memuat pelatihan mengenai aplikasi ketrampilan dasar untuk menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan nyata.
  2. Bermain peran, dilakukan dengan cara mendengarkan petunjuk yang disajikan model atau melalui video.
    1. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan diskusi mengenai aktivitas yang dimodelkan.
    2. Bagi pelatih, latihan ini dapat dilakukan dengan menyajikan suatu situasi dan menanyakan kepada klien apa yang akan dilakukan apabila berada dalam situasi seperti itu.
  3. Umpan balik terhadap kinerja yang tepat, yang dilakukan dengan cara memberikan pengukuh terhadap peserta yang menunjukkan kinerja yang tepat.





Pelaksanaan Pelatihan Ketrampilan Sosial dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
  1. Keuntungan apabila dilakukan secara kelompok :
    1. Penghematan tenaga, waktu, biaya
    2. Masing-masing anggota mendapat kesempatan melakukan praktek dalam kelompok, sehingga mereka dapat :
                                                              i.      Melakukan perilaku sesuai contoh
                                                            ii.      Merasakan emosi yang menyertai perilaku tersebut
                                                          iii.      Saling memberi umpan balik, pengukuh, maupun dorongan
                                                          iv.      Merasakan adanya universalitas bahwa ada orang lain yang mengalami msalah serupa dengan dirinya, sehingga akan meningkatkan pembukaan diri dan meningkatkan motivasi untuk berubah.
  1. Kerugian apabila dilakukan secara kelompok :
    1. Ada batasan jumlah anggota, yaitu tidak lebih dari 12 orang. Kelompok yang terlalu besar akan membawa akibat negatif karena masing-masing anggota hanya memiliki kesempatan berlatih yang sedikit.
    2. Kelompok harus homogen, artinya perbedaan kelemahan dan kelebihan peserta tidak terlalu besar. Peserta yang heterogen akan menyebabkan kebosanan bagi anggota dengan kemampuan tinggi, dan rasa rendah diri bagi anggota yang kemampuannya rendah.

Pelaksanaan Pelatihan Ketrampilan Sosial dapat dilakukan dalam :
  1. Format terapi, artinya dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan.
    1. Format ini lebih tepat untuk peserta yang benar-benar mengalami masalah kesulitan bergaul atau problem klinis lainnya
    2. Pertemuan selama 2 jam sehari dan dilakukan selama 10 sampai 12 kali pertemuan

  1. Format workshop, artinya dilakukan dalam waktu satu atau dua hari penuh.
    1. Format ini lebih tepat untuk peserta yang hanya ingin meningkatkan ketrampilan atau ingin menambah pengalaman
    2. Format workshop 1 sampai 2 hari cukup bermanfaat

Di Indonesia, paket Pelatihan Ketrampilan Sosial telah disusun oleh Ramdhani dalam format video, dan merupakan modifikasi dari :
  1. Social skills training dari Michelson
  2. Psychological skills training dari Goldstein
  3. Assertion training dari Roes dan Graham

Dalam pertemuan pertama dari pelatihan, perlu dijelaskan tentang hal-hal yang terkait dengan Pelatihan Ketrampilan Sosial, yaitu :
  1. Kesulitan bergaul
  2. Dasar-dasar pikiran mengenai penggunaan Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk membantu individu yang mengalami kesulitan bergaul
  3. Tujuan-tujuan Pelatihan Ketrampilan Sosial

Pada sesi-sesi pelatihan berikutnya, setiap peserta sangat dituntut untuk aktif mencoba, berlatih, dan memberi masukan kepada peserta lainnya, sehingga hubungan antar peserta dan hubungan antara peserta dan pelatih menjadi akrab. Untuk itu, saling memperkenalkan diri di awal pelatihan sangat diperlukan.

Membangun harapan merupakan bagian penting dari pelatihan. Sesi membangun harapan juga dilakukan di awal pelatihan, namun dapat juga muncul harapan baru selama jalannya pelatihan. Sebelum memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengemukakan harapannya, pelatih terlebih dahulu harus mengemukakan harapan-harapannya. Peserta dapat diajak untuk mengemukakan harapannya dengan cara mengisi lembar isian target perilaku yang hendak dicapai, sehingga peserta dapat mempelajari proses-proses yang terjadi dalam dirinya selama berjalannya pelatihan.


TARGET PERILAKU

                        Nama               : ………………………………..
                        Alamat                        : ………………………………..
Deskripsi Situasi
Skala (0 – 100%)
Sekarang
Target








Harapan dari peserta juga dapat dibina dengan mengajak peserta mengisi Skala Tingkah Laku Sosial (STLS), Skala Kecemasan (SK), maupun Skala Konsep Diri (SKD).  Contoh STLS adalah sebagaimana terlihat di bawah ini.












SKALA TINGKAH LAKU SOSIAL

Nama   : …………………………………………
Alamat            : …………………………………………

No.
Pernyataan
SS
S
TS
STS
1
Saya mengenal dengan baik setiap tetangga saya




2
Saya hanya mempunyai sedikit teman, baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggal




3
Saya mempunyai banyak sekali teman, dan saya ingat hampir semua nama-nama mereka







Setelah sesi membina harapan, pelatih dapat langsung memandu peserta untuk memulai Pelatihan Ketrampilan Sosial. Pelatihan ini terdiri dari 13 contoh-contoh perilaku yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
  1. Cara bertanya untuk tujuan konfirmasi
  2. Cara memberi dan menerima pujian
  3. Cara mengeluh dan menghadapi keluhan
  4. Cara menolak
  5. Cara meminta pertolongan
  6. Cara menyatakan perasaan tidak pasti
  7. Cara menyarankan perubahan perilaku
  8. Cara menuntut  hak
  9. Cara terlibat dalam percakapan yang menyenangkan
  10. Cara berempati
  11. Cara berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda status
  12. Cara berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda jenis kelamin
  13. Cara berinteraksi dan bergabung ke dalam kelompok

Sebagai contoh, bertanya untuk tujuan konfirmasi adalah salah satu perilaku yang perlu dimiliki. Ketidakmampuan dalam bertanya untuk tujuan konfirmasi akan berakhir dengan ketidakpastian, atau bahkan sakit hati. Dengan perilaku yang asertif, yang menggunaan kata maaf dan juga iya, sebetulnya tidak apa-apa, akan membuat pembicaraan berakhir dengan baik.

Contoh lain adalah dalam hal memberikan pujian. Ada dua hal yang sangat penting dalam memberikan pujian, yaitu perasaan tulus dan ketepatan waktu. Cara memuji yang pasif, yang menggunakan bahasa non-verbal tanpa diikuti oleh bahasa verbal, akan membuat makna pujian menjadi kabur dan orang yang dipuji kurang memahami makna yang sebenarnya akan disampaikan. Cara memuji yang gencar akan terkesan sangat tidak sopan, agresif, dan tendensius, sehingga orang yang dipuji akan merasa diolok-olok. Sedangkan pujian yang tulus akan membuat orang yang dipuji menjadi senang, demikian pula orang yang memuji akan merasa puas.

Dalam Pelatihan Ketrampilan Sosial tentang ketrampilan memuji, masing-masing cara memuji (pasif, agresif, asertif) ditunjukkan oleh model, sehingga peserta pelatihan dapat membedakan antara ketiganya dan dapat memainkan perannya, sehingga  mereka dapat merasakan emosi-emosi yang menyertai setiap perilaku.


5. PENUTUP

Teknik Modifikasi Perilaku semakin banyak dilakukan sekarang ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik ini membantu meningkatkan kinerja dan menurunkan kecemasan. Penelitian ini mendukung teori yang mengatakan bahwa subjek mengalami kesulitan penyesuaian disebabkan adanya kecemasan pada dirinya, atau sebaliknya bahwa kesulitan penyesuaian akan menimbulkan kecemasan. Karena itu, meningkatnya kinerja hubungan sosial seorang subjek akan menurunkan tingkat kecemasannya.

Penelitian juga menunjukkan bahwa konsep diri anak yang dulunya pemalu dan terisolasi secara sosial akan menungkat, demikian pula kemampuan tingkah laku sosialnya juga meningkat. Konsep diri yang meningkat akan menurunkan kecenderungan subjek untuk melakukan penilaian negatif terhadap dirinya, dan dengan demikian subjek tidak mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan sosial.

Penelitian oleh Ramdhani menunjukkan bahwa Pelatihan Ketrampilan Sosial efektif dalam membantu remaja yang sulit bergaul, dan ditemukan adanya peningkatan konsep diri dan perilaku sosial pada remaja setelah mengikuti Pelatihan Ketrampilan Sosial.

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Ramdhani pada mahasiswa yang sulit bergaul menunjukkan bahwa Pelatihan Ketrampilan Sosial memberikan akibat pada meningkatnya perilaku sosial, harga diri, dan menurunkan tingkat kecemasan sosial.  

Selain itu, Pelatihan Ketrampilan Sosial juga sudah digunakan sebagai pelengkap dari pelatihan asertif untuk menurunkan tingkat kecemasan interpersonal.
----- o 0 o -----

Oleh : Constantinus J Joseph
Jl. Anjasmoro V/24 Semarang
e-mail : constantinus99@yahoo.co.id